Polisi Tembakkan Gas Air Mata ke Warga Dago Elos: Kami Seperti di Tengah Perang
Kasus penembakan gas air mata—yang menyasar permukiman Dago Elos, Bandung, Jawa Barat—membuat sejumlah warga termasuk anak-anak trauma dan mengalami sesak napas. Beberapa di antara mereka bahkan masih mengungsi karena ketakutan.
Koordinator LSM Kontras, Dimas Bagus Arya, menyarankan korban penembakan gas air mata untuk melaporkan tindakan aparat ke Polda Jabar atau Propam.
Sebab tindakan aparat melepaskan peluru gas air mata ke area permukiman warga, sambungnya, telah menyalahi prosedur internal Polri.
Atas peristiwa itu, Polda Jawa Barat mengeklaim telah membentuk tim khusus untuk mengusut dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan anggotanya.
Meskipun klaimnya tindakan polisi malam itu didasari karena adanya peristiwa yang menurut penilaian mereka, sudah anarkis.
Kronologi versi warga Dago Elos
Kericuhan yang terjadi di kawasan Jalan Dago, Bandung, ini bermula dari aksi warga sekitar yang memblokade sebagian Jalan Ir. H. Djuanda sebagai bentuk kekecewaan lantaran laporan atas dugaan penipuan sengketa lahan Dago Elos ditolak Polrestabes Bandung.
Warga yang sudah seharian berada di markas polisi itu akhirnya pulang dengan perasaan kecewa dan marah.
Terlebih menurut pengakuan mereka, polisi selalu berlaku demikian sejak 2016.
"Kami itu dari 2016 diperlakukan begini. Disuruh ke sana, ke sini, tidak ada hasilnya. Kami ke Badan Pertanahan Nasional, terus ke Polda Jabar bilangnya 'ya akan disampaikan'. Kami coba lagi ke Polrestabes ternyata sama," ujar Novi, seorang warga kepada wartawan Yuli Saputra kepada BBC News Indonesia.
Sekitar pukul 23.00 WIB, kata Tina Sengkin, warga sedang membereskan bekas-bekas blokade jalan dan sebagian beranjak pulang.
Namun mendadak dari arah Jalan Jajaway meluncur gas air mata yang mengarah ke kerumunan warga - sebagian besar adalah perempuan, anak-anak, dan lansia.
Padahal, kata Tina, waktu itu situasinya sudah kondusif. Polisi dan warga sudah sepakat untuk membubarkan diri.
"Bapak-bapak keluar menyelamatkan istri dan anaknya. Kami juga menyelamatkan diri masing-masing. Padahal [situasi] kondusif banget. Tidak ada yang diomongin lempar-lempar [batu dan botol]."
"Semuanya kena lemparan gas air mata sampai ada yang muntah, pingsan. Anak-anak juga sampai ada yang tidak bisa napas karena sesak."
"Yang lebih parahnya lagi, mereka [polisi] tembakin gas air mata tidak ke atas, tapi hanya beberapa sentimeter dari kepala kami. Ada yang ke bawah."
Seingat Tina, jumlah polisi pada malam itu lebih banyak dari warga.
Mobil yang mengangkut anggota polisi, katanya, berjumlah puluhan dan terparkir dari SPBU Dago hingga supermarket Borma Dago.
Tina, suami, anak, dan ibunya yang sudah lansia menjadi korban penembakan gas air mata polisi.
Kejadian setelahnya, sambung dia, polisi merangsek masuk ke permukiman warga. Ia merasa seperti 'diperangi' polisi.
"Warga kayak disandera, dikepung, diperangi. Kami tuh warga sipil yang enggak bawa alat apapun. Kami memblokade secara spontan, tapi mereka sudah siap dengan alatnya," ujarnya kesal.
"Kami ibu-ibu tangan kosong hanya ingin mengutarakan kekesalan aja ke polisi. Kebayang kan ibu-ibu tangan kosong bawa anak pakai daster karena sudah jam 11 malam lewat."
Sejumlah aparat, ungkap Tina, terus masuk ke permukiman warga. Menyusuri gang-gang sambil menembakkan gas air mata. Akibatnya korban tidak hanya warga yang di luar tapi juga yang berada di rumah.
Rumah didobrak polisi
Salah satu rumah warga yang didobrak paksa polisi menimpa Handika - yang rumahnya terletak sekitar 500 meter dari Terminal Dago, tempat warga memblokade jalan.
Handika bercerita malam itu polisi memaksa masuk dengan mendobrak pintu.
Pria 33 tahun ini menduga polisi merangsek karena mengira dirinya menyembunyikan warga lantaran melihat banyak sepatu dan sandal di luar rumah.
Padahal saat itu rumahnya sedang ada kumpul keluarga.
Dari rekaman CCTV milik Handika, terdengar teriakan polisi yang memaksa agar pintu dibuka.
Karena tak juga dibuka, polisi membuka secara paksa.
Isteri Handika, Nur Solihat, dan ibu mertuanya sudah berkali-kali mengingatkan polisi bahwa ada anak kecil di dalam rumah, tapi permintaan itu diabaikan.
Seorang anggota polisi sempat masuk dan mengecek setiap bagian rumah Handika kira-kira lima menit. Karena tidak menemukan apapun, polisi itu pergi.
"Dia [polisi] langsung teriak-teriak sambil menggunakan kata-kata umpatan, 'buka euy... keluar'".
Anak Handika yang berusia enam tahun terbangun mendengar teriakan polisi.
Karena takut, dia lari dari tempat tidur dan bersembunyi di belakang pintu. Sial pintu itu didobrak polisi sehingga menyebabkan luka.
"Kuku kakinya sampai terluka, bibir berdarah karena terbentur pintu," ucap Handika.
Inong Suwarni menggambarkan suasana dini hari itu seperti di tengah perang karena sangat mencekam. Beberapa kali terdengar suara tembakan senjata.
Perempuan berusia 70 tahun ini memberanikan diri mengintip melalui jendela saat polisi merangsek memasuki permukiman warga.
"Malam itu mencekam, saya lihat polisi berjejer di luar," tuturnya saat ditemui di Dago Elos, Bandung.
Malam itu dia sulit memejamkan mata. Apalagi anak-anak serta menantunya ikut dalam aksi blokade jalan.
Di tengah rasa takut, ia mendengar suara pintu rumahnya digedor dari luar. Rupanya anaknya Novi Mulyani berteriak minta dibukakan pintu.
Novi, ucapnya, terkena gas air mata dari jarak dekat.
"Tidak cuma saya, semua pada berbaring di jalan teriak minta air."
Warga Dago Elos mencoba menghapus trauma anak-anak di sana dengan menggelar acara peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia.
Di lapangan voli dihiasi spanduk bertuliskan kata-kata perlawanan: 'Dago Melawan, Tolak Penggusuran, Kita Belum Merdeka, Dago Melawan Mafia Tanah.
Tindakan polisi melanggar prosedur
Koordinator LSM Kontras, Dimas Bagus Arya, menyarankan korban penembakan gas air mata di kawasan Jalan Dago, Bandung, untuk melaporkan tindakan aparat tersebut ke Polda Jabar atau Propam.
Sebab tindakan mereka melepaskan peluru gas air mata ke area permukiman warga telah menyalahi prosedur internal Polri di antaranya Perkapolri nomor 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, kata Dimas.
Di aturan tersebut, keputusan menembakkan gas air mata sesungguhnya adalah tahapan terakhir setelah melewati setidaknya empat tahap: mulai dari menggunakan kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, kemudian perintah lisan, menggunakan kendali tangan kosong lunak, lantas kendali tangan kosong keras.
Jika empat tahap itu tidak juga bisa meredakan massa aksi, maka aparat harus terlebih dahulu menggunakan kendali senjata tumpul, barulah senjata kimia seperti gas air mata.
"Jadi prinsip-prinsip itu harus diperhatikan polisi dan tidak serta merta menembak gas air mata ke permukiman warga. Karena itu sudah melanggar," jelas Dimas Bagus Arya kepada BBC News Indonesia, Kamis (17/08).
"Utamakan dahulu pendekatan dialog atau negosiasi untuk mencapai win-win solution apa yang dikehendaki masyarakat."
Sementara apa yang terjadi di lokasi kejadian pada Senin (14/08) malam, menurut Dimas, sama sekali tidak mengancam nyawa atau keselamatan aparat.
Kalaupun polisi mengeklaim mereka dilempari terlebih dahulu dengan batu atau botol, ujarnya, polisi tidak serta merta bisa melepaskan tembakan gas air mata.
Sebab mereka dibekali peralatan untuk melindungi diri.
"Polisi dibekali perangkat untuk melindungi diri seperti tameng. Jadi gas air mata itu upaya terakhir yang bisa dilakukan polisi kalau situasinya di area terbuka dan tidak memberikan kerugian ke orang-orang yang ada di wilayah itu."
Catatan Kontras penembakan gas air mata tanpa prosedur yang benar kerap berulang terjadi.
Sepanjang Juli 2022-Juni 2023 setidaknya ada 13 kasus penggunaan gas air mata.
Adapun temuan LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan ada 23 peristiwa penembakan gas air mata yang dilakukan aparat polisi sepanjang tahun 2022.
Jumlah itu, sebut ICW, meningkat 35,3% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 17 kasus.
Jika diakumulasikan sudah ada 144 peristiwa penembakan gas air mata yang dilakukan kepolisian sejak 2015 sampai 2022.
Insiden penembakan gas air mata terbanyak terjadi pada 2019 yakni mencapai 29 kasus.
Sepanjang pantauan Kontras, anggota polisi yang ketahuan menembakkan gas air mata tak sesuai prosedur hanya dikenakan sanksi etik, tanpa pernah dipidana.
Itulah mengapa, kata dia, tindakan serupa terus berulang.
"Karena kultur impunitas, sanksinya selalu bermuara ke etik sehingga tidak ada perubahan kultural di tubuh Polri. Selain itu ada karena belum adanya reformasi di institusi Polri secara struktural," jelas Dimas.
"Maupun tanggungjawab institusi untuk melakukan perubahan dalam melakukan pengamanan kepada aksi massa."
Padahal menembakkan gas air mata tak sesuai prosedur menimbulkan korban luka dan trauma yang secara hukum pidana sudah termasuk perbuatan penganiayaan di Pasal 351 KUHP -yaang ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun.
Apa kata polisi?
Polda Jawa Barat mengeklaim telah membentuk tim khusus untuk mengusut dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan anggotanya saat bentrok dengan warga Dago Elos, Bandung, pada Senin (14/08).
Tim itu bersama Propam Polda dikerahkan untuk mendalami adanya dugaan pelanggaran prosedur.
"Tim masih bekerja dan menunggu hasil," ujar Kabidhumas Polda Jabar, Kombes Polisi Ibrahim Tompo, Kamis (17/08).
Berdasarkan laporan yang ia terima, penanganan polisi saat terjadi bentrok dengan warga Dago Elos diakibatkan adanya tindakan anarkis dari pihak massa yang memblokir jalan.
Sehingga polisi, klaimnya, mengambil pertimbangan massa itu harus segera 'diamankan'.
"Tindakan yang dilakukan oleh personel kemarin itu memang didasari karena adanya peristiwa yang menurut penilaian saat bertugas itu sudah anarkis. Melakukan pembakaran, pelemparan sampai dengan adanya perusakan fasilitas. Bahkan menghambat jalan," sambungnya seperti dilansir Detik.com.
Adapun mengenai laporan warga Dago Elos atas dugaan penipuan yang dilakukan kelompok Muller cs yang sempat ditolak Polrestabes Bandung, sedang ditangani Polda Jabar sejak Selasa (15/08).
"Laporan kami terima di Polda Jabar sebagai bentuk akomodasi keluhan masyarakat. Untuk kelengkapan dokumen pendukungnya nanti akan dilengkapi sambil jalan."
Sementara itu Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, mengatakan pihaknya akan melakukan klarifikasi ke Polda Jawa Barat mengenai peristiwa penembakan gas air mata tersebut.
Kendati, katanya, dalam menangangi aksi demo, termasuk penggunaan gas air mata harus berpegang pada Perkapolri nomor 1 tahun 2009 serta mengedepankan tindakan preventif.
"Barulah jika preventif gagal boleh menggunakan penegakan hukum. Meskipun demikian tindakan yang dilakukan anggota Polri haruslah tindakan yang humanis dan menghormati hak asasi manusia," ucap Poengky kepada BBC News Indonesia, Kamis (17/08).
Sumber: kumparan
Foto: Aksi warga Dago Elos bakar ban di Jalan Dago, Kota Bandung, pada Senin (14/8/2023). Foto: Dok. Istimewa
Polisi Tembakkan Gas Air Mata ke Warga Dago Elos: Kami Seperti di Tengah Perang
Reviewed by Admin Kab. Semarang
on
Rating:
Tidak ada komentar