Pernyataan Bupati Pemalang Disorot Praktisi Hukum: “Berpotensi Langgar Prinsip Demokrasi dan Hak Konstitusional Warga”
Komando Bhayangkara, Pemalang - Ucapan Bupati Pemalang yang menyebut “jangan brisik terhadap kelompok serta kepentingan beberapa golongan menjadi penghambat dalam upaya membawa Pemalang sejajar dengan kabupaten lain” di Halal Bihalal Keluarga Besar Sundari-Dradjat di Desa Bodeh, Kecamatan Bodeh pada Selasa, 1 April 2025 yang menuai respons serius dari kalangan hukum, Selasa(02/04/2025)
Praktisi hukum dan akademisi menyebut, pernyataan itu berpotensi melanggar prinsip konstitusional serta merusak iklim demokrasi lokal.
Salah satu tanggapan datang dari Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, praktisi hukum Pemalang. Menurutnya, penggunaan diksi “jangan brisik” oleh seorang Kepala Daerah bukan hanya tidak etis, tetapi juga berpotensi membungkam hak warga negara untuk menyampaikan kritik dan pendapat secara bebas.
“Dalam sistem hukum Indonesia, kebebasan berpendapat dijamin secara tegas dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Ketika seorang pejabat publik menyampaikan pernyataan yang berkonotasi membatasi atau mendiskreditkan suara kelompok tertentu, maka itu harus dilihat sebagai potensi pelanggaran hak konstitusional,” tegas Imam.
Kata "jangan brisik" memiliki konotasi negatif, bernuansa kasar dan tidak diplomatis. Dalam konteks komunikasi pejabat publik, penggunaan diksi semacam ini cenderung tidak mencerminkan etika komunikasi Pemerintahan yang ideal, yang seharusnya inklusif, persuasif, dan menyejukkan.
Pernyataan ini tampak menyasar kelompok tertentu (yang dianggap "ribut" atau menghambat), dan menyingkirkan suara kritis dengan cara yang kurang bijaksana.
Kalimat tersebut berpotensi dimaknai sebagai upaya untuk membungkam kritik atau aspirasi masyarakat yang mungkin berbeda pandangan dengan Pemerintah daerah. Kritik yang sehat seharusnya dipandang sebagai bagian dari demokrasi, bukan sebagai “gangguan”.
Pernyataan ini juga bisa diartikan sebagai keengganan pemimpin untuk merangkul keberagaman kepentingan yang ada di masyarakat.
Dalam praktiknya, pembangunan daerah perlu mendengarkan suara dari berbagai golongan.
Alih-alih menyatukan, pernyataan ini bisa memperlebar jarak antara pemerintah dengan masyarakat atau kelompok tertentu yang merasa tersinggung atau dimarginalkan.
Pemimpin yang menggunakan bahasa yang terkesan menghardik atau menyudutkan akan cenderung dipersepsikan tidak terbuka terhadap masukan, padahal keterbukaan terhadap kritik adalah kunci tata kelola Pemerintahan yang baik (good governance).
Imam juga menekankan bahwa sebagai bagian dari prinsip negara hukum (rechtstaat), pejabat publik harus tunduk pada Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yang di antaranya mencakup asas partisipasi, non-diskriminasi, dan kepastian hukum.
“Dalam konteks tata kelola Pemerintahan, kepala daerah tidak hanya bertindak sebagai administrator, tapi juga sebagai representasi negara di daerah. Karena itu, segala pernyataan dan tindakan harus mencerminkan etika publik serta penghormatan terhadap prinsip-prinsip hukum yang berlaku,” lanjutnya.
Menurut Imam, jika pernyataan tersebut menimbulkan dampak lanjutan seperti marginalisasi kelompok masyarakat tertentu atau pembatasan terhadap partisipasi publik dalam proses pembangunan, maka hal itu dapat menjadi objek pengaduan ke lembaga seperti Ombudsman RI atau Komnas HAM.
“Apabila ada kebijakan daerah yang timbul dari semangat anti-kritik seperti itu, maka masyarakat memiliki hak untuk menggugat melalui mekanisme hukum, baik melalui judicial review ke Mahkamah Agung, gugatan TUN, maupun pengawasan politik oleh DPRD,” tegasnya.
Imam juga menyampaikan bahwa pembiaran terhadap pola komunikasi kekuasaan yang membungkam hanya akan melahirkan rezim lokal yang otoriter dan anti-transparansi.
Imam menilai bahwa komunikasi pejabat publik semestinya diarahkan untuk membangun semangat kolaboratif, bukan memancing resistensi atau konflik horizontal. Ia menyarankan agar kepala daerah menjunjung tinggi prinsip inklusivitas dalam merespons dinamika sosial.
“Kepala daerah adalah pemimpin semua warga, bukan hanya kelompok yang mendukungnya. Kritik bukan ancaman, melainkan alat koreksi dalam demokrasi. Maka komunikasi publik harus dibangun dengan narasi persatuan dan pelayanan, bukan kekuasaan,” pungkasnya.
Berbagai pihak kini berharap agar Pemkab Pemalang melakukan klarifikasi dan merumuskan pendekatan komunikasi yang lebih terbuka dan demokratis, demi menciptakan ruang partisipasi yang sehat dan inklusif dalam pembangunan daerah.
(redMKB)
Pernyataan Bupati Pemalang Disorot Praktisi Hukum: “Berpotensi Langgar Prinsip Demokrasi dan Hak Konstitusional Warga”
Reviewed by Admin Pemalang
on
Rating:
Tidak ada komentar